> " do not only work hard but work smartly - jangan hanya bekerja dengan keras, tetapi bekerjalah dengan cerdas

Benarkah Indonesia Pernah Dijajah Belanda Selama 350 Tahun?

Tanggal 17 Agustus 2011 ini, bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaannya yang Ke-66. Semarak peringatan kemerdekaan dengan ragam aktivitas tampak menggempita di seantreo Nusantara. Setidaknya, fakta ini menunjukkan bahwa seluruh rakyat ingin berperan atas nama spirit kebangsaan (nasionalisme) memperingati hari paling bersejarah bagi bangsa ini.
Setiap memperingati hari kemerdekaan, memori kolektif bangsa ini tak bisa lepas dari penderitaan leluhurnya, akibat kekejaman Belanda, yang (konon) pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Mitos ini agaknya perlu dibongkar dan dikritisi sehingga ada pelurusan sejarah bagi bangsa ini. Sebab, selama berpuluh tahun kita telah dicekoki dengan informasi yang tak jelas, bahkan tak bisa dipertanggungjawabkan secara historis maupun akademis.

Entah siapa yang mengawali, tetapi kita kebanyakan ikut larut dalam buaian opini tentang mitos penjajahan Belanda di negeri ini. Selama berpuluh tahun para pelajar dan mahasiswa mempelajari tentang penjajahan bangsa-bangsa Eropa atas Indonesia lewat mata pelajaran Sejarah. Bahkan dalam teks pidato para pejabat, saat peringatan kemerdekaan, selalu terungkap adanya penjajahan Belanda selama 350 tahun di Indonesia. Ironisnya, pemerintah sendiri tak merasa risi dengan "doktrin" yang menyatakan bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.

Jika kita membuka kembali catatan sejarah, hitungan (angka) yang menyatakan Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun diduga berawal dari awal kedatangan Belanda ke negeri ini. Armada laut Belanda dipimpin Cornelis de Houtman memang tiba pertama kali di Banten tahun 1595. Dari sinilah angka 350 tahun itu awalnya diperoleh. Tentu dengan melakukan pengurangan ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945. Secara matematis, siapapun tahu jika 1945-1595 = 350.

Tetapi momen tersebut jelas tidak bisa dijadikan referensi awal penjajahan Belanda atas wilayah Indonesia. Sebab kedatangan para pedagang avonturir milik perseroan dagang di Amsterdam (Belanda) itu, adalah untuk berniaga. Terutama niaga rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di Eropa. Setelah mendapatkan barang-barang yang diperlukan dalam jumlah besar, rombongan Houtman kembali ke negerinya di Belanda sekitar tahun 1597.

Sampai di sini, jelas belum ada yang namanya kolonialisme atau penjajahan. Karena yang terjadi adalah hubungan perniagaan antara masyarakat pribumi dengan pedagang Belanda. Persoalan baru muncul kemudian, setelah gerombolan maskapai perdagangan Belanda lainnya datang dalam jumlah lebih besar secara bertahap, yang akhirnya menimbulkan persaingan tidak sehat sesama mereka. Untuk menjaga meluasnya persaingan dagang, sebanyak 17 kongsi dagang Belanda membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tahun 1602.

Tujuannya, menguasai perdagangan rempah-rempah maupun hasil-hasil bumi lainnya di sejumlah kerajaan yang mereka anggap sebagai wilayah Imperium Neerlando Indicium atau Hindia Belanda dengan menghalalkan segala cara. Jelas saja, kerakusan VOC mendapat perlawanan kaum pribumi yang merasa kelangsungan kepentingannya mulai terancam (Sartono; 1987: 71).

Tak Mampu Menghadapi Kompeni Belanda

Sejarah Indonesia mencatat, Raja-raja di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain memang tak mampu menghadapi kompeni Belanda. Tetapi bukan berarti hal itu telah menjadi legitimasi Belanda sebagai penjajah Indonesia. Sebab ketika para Raja-raja yang terganggu kepentingannya itu bertarung melawan Belanda, mereka hanya mewakili kerajaannya masing-masing. Belum memikirkan kepentingan dan eksistensi bangsa Indonesia secara kolektif. Karena bangsa dan negara Indonesia ketika itu juga belum ada secara de fakto maupun de yure.

Apakah perlawanan Sisingamangaraja XII di Tapanuli, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten atau perlawanan Sultan Agung di Mataram dan Sultan Hasanuddin di Makkasar telah representatif mewakili bangsa Indonesia secara nasional? Tentu tidak! Karena masing-masing kerajaan itu hanya mempertahankan eksistensi wilayahnya sendiri-sendiri agar tidak dikuasai kolonialisme Belanda. Artinya, negara Indonesia belum ada ketika Raja-raja yang pernah eksis di wilayah Indonesia sekarang, bangkit melawan Belanda. Dan, tidak semua pula wilayah Indonesia sekarang merupakan wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada masa lalu.

Meskipun Belanda telah berkuasa atas sebagian besar kerajaan-kerajaan tradisional tersebut, masih banyak wilayah-wilayah bebas di Indonesia sekarang yang tidak dikuasai Belanda. Terutama kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur. Buktinya, kita tak pernah mendengar ada kerajaan di Papua (Irian) yang pada jaman VOC berkuasa, yang ikut melawan Belanda.

Prof Mr GJ Resink, Sejarawan Universitas Indonesia keturunan Belanda, juga pernah membantah, bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Guru Besar Sejarah Indonesia kelahiran Yogyakarta tahun 1911 ini, penjajahan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun menguasai Kepulauan Indonesia sebenarnya tidak lebih dari mitos politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah (Asvi Warman Adam, 2007: 12).

Karena itulah, secara tegas dan tanpa tedeng aling-aling, kita harus mengoreksi dan mensosialisasikan bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak pernah dijajah oleh negara mana pun apalagi oleh Belanda selama 350 tahun. Karena yang mereka kuasai adalah kerajaan-kerajaan yang pernah eksis di wilayah Indonesia sekarang. Itu pun, tak boleh digeneralisasi secara kolektif 350 tahun. Sebab kerajaan-kerajaan tersebut tidak ditundukkan dalam waktu yang bersamaan. Tetapi secara berturut-turut selama dalam waktu kurang lebih 300 tahun.

Secara resmi, negara Republik Indonesia sendiri baru terbentuk sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Jika terbentuknya saja baru tahun 1945, lantas kapan pula Belanda pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun? Mari kita memandang jauh ke depan dan tetaplah berfikir merdeka! Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke 66..! ***

Oleh : Jalatua Hasugian. Penulis adalah Guru Sejarah di Pematangsiantar

Bahasa Cinta

Di dalam kehidupan ada berbagai macam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Namun, untuk dua orang dapat berkomunikasi, keduanya harus mengerti bahasa yang dipergunakan dalam pembicaraan. Cinta pun demikian. Secara garis besar, Dr. Gary Chapman, seorang marriage counselor membagi bahasa cinta ke dalam 5 bahasa. Apa saja kelima bahasa cinta tersebut?

1. Receiving Gifts
Bahasa cinta ini bukanlah materialisme. Seseorang yang memiliki bahasa cinta ini melihat cinta dibalik pemikiran dan usaha pemberi hadiah. Kamu akan merasa dimengerti, diperhatikan, dan dihargai lebih dari segala pengorbanan yang diusahakan oleh si pemberi untuk memberikan hadiah tersebut kepada kamu.
2. Quality Time
Bagi kamu yang berbicara bahasa cinta ini, tidak ada yang lebih membuat kamu merasa dicintai selain “full, undivided attention” dari pasangan. Gangguan seperti pasangan tidak mendengarkan saat kamu bercerita, sibuk menerima telepon atau chatting di Blackberry saat bersama kamu akan membuat kamu merasa di nomor dua-kan. Merasa tidak dicintai.
3. Words of Affirmation Actions
Don’t always speak louder than words. Well, setidaknya tidak bagi kamu yang bahasa cintanya adalah perkataan. Untuk kamu, kata pujian dan ucapan “I love you” akan membuat jiwa kamu seperti naik ke awan-awan. Sebaliknya, kritik atau kata-kata yang pedas akan membuat kamu merasa tersakiti.
4. Acts of Service
Apakah mencuci baju merupakan bahasa cinta? Absolutely! Apa saja yang dilakukan oleh pasangan untuk meringankan beban kamu adalah sebuah ungkapan cinta bagi kamu yang bahasa cintanya adalah “acts of service”. Uluran tangan pasangan adalah hal yang menyentuh hati kamu. Akibatnya, apabila pasangan kamu menolak atau tidak melakukan janjinya untuk membantu kamu, kamu akan merasa perasaan kamu tidak dihargai.
5. Affection
Bahasa kasih ini bukanlah melulu tentang sex. Seseorang dengan bahasa kasih ini merasa disayang saat pasangannya memeluk, memegang tangan, atau mengelus rambutnya dengan tangan. Kamu yang memiliki bahasa cinta yang satu ini akan merasakan keintiman, perasaan disayangi dan dilindungi saat mendapatkan sentuhan. Karena itu, physical presence menjadi penting. Kecuekan dari pasangan atau kekerasan akan sangat menyakiti hati kamu.

Bahasa cinta Mia adalah gift. Saat ia menerima hadiah meskipun itu hanya hadiah kecil, ia merasa dicintai. Sayangnya, John, tidak mengerti bahasa cinta Mia. Bahasa cinta John adalah affection. Ia menunjukkan rasa cintanya pada Mia dengan menggandeng tangan Mia saat berjalan-jalan, dan memberi pelukan erat saat Mia menghadapi masalah. Karena mereka tidak mengerti tentang perbedaan bahasa cinta ini, Mia merasa tidak dicintai sedangkan John kebingungan karena tidak mengerti bagaimana harus bersikap supaya Mia percaya akan cintanya.
Begitu juga Rasti, yang memiliki bahasa cinta quality time tetapi suaminya berbicara cinta dengan words of affirmation. Saat Rasti membutuhkan kehadiran suaminya, sang suami tidak bisa menemani karena sibuk bekerja. Bagi sang suami, ia menunjukkan cinta dengan bilang "I love you", “I miss you” atau dengan memberi tahu Rasti betapa bahagia dirinya mempunyai istri seperti Rasti. Tetapi karena perbedaan bahasa cinta, Rasti merasa bahwa suaminya hanya pintar berbicara manis. Jadi, siapa yang salah? Tidak ada yang salah karena sebenarnya yang laki-laki dan yang perempuan keduanya saling mencintai. Mereka menunjukkan cinta dengan bahasa cinta masing-masing. Sayangnya, perbedaan bahasa cinta menciptakan kesalahpahaman dan jarak dalam hubungan mereka.
Untuk itu, Dr. Gary Chapman menyarankan agar setiap pasangan mencari tahu apa bahasa cinta mereka, dan bahasa cinta pasangannya. Kamu bisa click di untuk mengetahui bahasa cinta kamu. Ajak pasangan untuk mengisi test yang sama.
Setelah kalian mengetahui bahasa cinta masing-masing, beradaptasilah. Cobalah melakukan hal yang sesuai dengan bahasa cinta pasangan kamu. Ajaklah juga pasangan kamu untuk berbicara cinta pada kamu dengan bahasa cinta kamu. Dengan begitu, kamu dan pasangan sama-sama merasa dicintai. Setuju?